Rabu (1/1/2025), ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Malang dipenuhi isak tangis dan luapan kekecewaan. Bukannya lega mendapatkan keadilan, keluarga korban tragedi Kanjuruhan justru merasa “dipermainkan” oleh putusan hakim yang menetapkan restitusi atau ganti rugi sebesar Rp1,02 miliar bagi 71 korban. Nominal ini jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan tuntutan keluarga korban yang mencapai Rp17,2 miliar.

“Kami kecewa, sangat kecewa. Nyawa anak kami semurah itu?,” ujar Devi Athok, ayah dua korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan, sembari menangis sesenggukan, (2/1/2025).

Putusan Restitusi: Rp10 Juta per Nyawa?

Dalam sidangnya, hakim memutuskan negara harus membayar restitusi kepada para korban tragedi Kanjuruhan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun, besaran restitusi yang diputuskan menimbulkan kontroversi.

“Total restitusi yang harus dibayarkan negara adalah sebesar Rp1.024.600.000. Rinciannya, untuk 71 korban meninggal dunia masing-masing mendapat Rp10 juta dan untuk korban luka bervariasi mulai dari Rp5 juta hingga Rp20 juta,” kata hakim dalam persidangan.

Putusan ini menuai protes keras dari keluarga korban. Mereka menganggap nyawa anak-anak mereka tidak dihargai secara adil.

“Rp10 juta untuk satu nyawa? Apakah hanya segini harga nyawa anak kami?,” teriak seorang ibu korban dengan nada penuh amarah.

“Kami Merasa Dipermainkan”

Devi Athok, yang kehilangan dua putrinya dalam tragedi tersebut, mengungkapkan kekecewaannya dengan nada pilu. “Saya merasa dipermainkan. Nyawa anak saya disamakan dengan barang yang tidak ada harganya,” ujarnya lirih.

Para keluarga korban lainnya juga mengungkapkan hal senada. Mereka merasa putusan hakim tidak mempertimbangkan penderitaan yang mereka alami akibat kehilangan orang yang dicintai.

“Kami tidak hanya kehilangan anak kami, tapi juga masa depan kami. Apakah Rp10 juta cukup untuk menggantikan semua itu?,” ujar seorang ibu korban dengan mata berkaca-kaca.

LPSK Siap Banding, Dukung Keluarga Korban

Menanggapi putusan ini, LPSK menyatakan akan mengajukan banding. “Kami akan berkoordinasi dengan para korban dan keluarga korban untuk mengajukan banding atas putusan ini,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi.

LPSK mendukung langkah keluarga korban untuk mencari keadilan. Mereka berharap putusan banding nantinya dapat memberikan restitusi yang lebih adil bagi para korban tragedi Kanjuruhan.

Tragedi Kanjuruhan: Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu merupakan salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Ratusan orang meninggal dunia dan terluka akibat kerusuhan yang pecah usai pertandingan sepak bola antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya.

Penembakan gas air mata oleh polisi ke arah tribune penonton memicu kepanikan massal yang berujung pada tragedi kemanusiaan. Hingga kini, luka dan trauma akibat tragedi tersebut masih membekas di hati para korban dan keluarga korban.

Putusan restitusi bagi korban tragedi Kanjuruhan ini masih menyisakan kekecewaan dan pertanyaan bagi keluarga korban. Semoga proses hukum yang berjalan, termasuk proses banding yang akan ditempuh, dapat mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi seluruh korban dan keluarga korban. Semoga tragedi Kanjuruhan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.